Tingkah laku anak ketika berada di rumah dan sekolah atau lingkungan lain bisa berbeda 180 derajat. Wajar bila ada orang tua yang tidak tahu jika anaknya menjadi tukang bully.
Ketika hal ini terjadi, banyak juga orang tua yang bingung atau bahkan tidak tahu bagaimana harus menyikapinya.
“Mesti kerjasama ya sama sekolahnya supaya dia tidak lagi jadi tukang bully, supaya ada pengawasan lebih kuat terhadap anak itu,” pesan psikolog anak dan remaja, Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Psi., Psi.
Di sisi lain, ibu dua anak itu meminta orang tua untuk introspeksi diri, sebab bisa jadi pola asuh atau perilaku orang tua sendiri yang kemudian mendorong anak untuk melakukan tindakan bullying terhadap orang lain.
“Tapi jika dia kesulitan, anak dan orang tuanya harus konsultasi untuk menelaah apa yang salah dan apa yang harus dibenarkan. Kerjasama juga dengan korban bullying ya, termasuk minta maap pada orang tua korban,” ujar psikolog yang berpraktik di Klinik Terpadu Universitas Indonesia dan TigaGenerasi tersebut.
Ditambahkan wanita yang akrab disapa Nina itu, orang tua berperan krusial dalam mencegah anak menjadi tukang bully, utamanya dengan menjadi contoh bagi si anak. Misalnya mengajari untuk saling menghargai sesama dan tidak mudah bertengkar.
“Kalaupun bertengkar itu jangan di depan anaknya. Kemudian mendiskusikan cara-cara penyelesaian masalah, misalnya ketika melerai kakak adik yang berantem. Seharusnya mengarahkan ‘oke kamu mestinya ngapain’, jangan yang menghardik satu atau marah-marah ke yang lain,” terangnya.
Begitu pula saat anak melakukan tindakan kasar atau kenakalan tertentu yang memang di luar batas. Untuk yang satu ini Nina menggarisbawahi agar orang tua selalu memberikan konsekuensi kepada anak jika mereka terbukti melakukannya.
“Jadi tidak boleh dibiarkan. Harus ada sanksinya agar tidak melakukan tindakan kekerasan pada siapapun dan apapun,” tegasnya.
0 Comments