Satu abad hampir berlalu. Bagi Moekari, waktu serasa baru kemarin berlalu. Meski tak muda lagi, namun dia masih bisa mengingat dengan jelas cerita-cerita perjuangan tempo dulu di Surabaya.

Moekari mantan anggota Polisi Istimewa. Dia anak buah Mohammad Yasin, bapaknya Brimob yang terkenal itu.

Saat pertempuran 10 November 1945 pecah, Moekari menceritakan betapa banyak pribumi yang ‘menjual diri’ pada Belanda. Dia tahu benar beberapa orang yang dianggap ‘pengkhianat’ dan menjadi anggota polisi rahasia Belanda. Dan ketika Indonesia merdeka, mereka menghilang dan kembali masuk ke kepolisian.

Mereka bahkan meraih pangkat tinggi sampai masa pensiunnya dan meninggal dalam keadaan terhormat. “Saya tahu orang-orangnya dan tahu mereka ada di pihak Belanda. Saat mereka kembali ke kepolisian, hanya mereka dan saya yang tahu masa lalu mereka. Tapi saya tidak mau cerita-cerita ke yang lain. Biarlah hanya saya yang tahu kisah pecundang-pecundang itu,” kata dia.

Para generasi muda Surabaya yang tergabung dalam Gerakan Peduli Pejuang Kemerdekaan dan Cacat Veteran RI (GEPPECVET RI) mendengarkan cerita Moekari.

Para generasi muda Surabaya yang tergabung dalam Gerakan Peduli Pejuang Kemerdekaan dan Cacat Veteran RI (GEPPECVET RI) mendengarkan cerita Moekari.

Moekari sendiri adalah pejuang pertama kemerdekaan RI. Sejak Indonesia belum merdeka, ia sudah dilatih oleh pasukan NIPPON (NIPPON adalah tentara Jepang yang zaman dahulu menguasai Indonesia).

“Kebetulan saya ini pejuang pertama. Jadi sebelum proklamasi, tahun 1944 NIPPON membentuk pasukan elit, tapi saya nggak ngerti mau dijadikan apa,” ujar Moekari.

Semasa dilatih oleh NIPPON, Moekari menjalani latihan yang sangat keras. Ia diharuskan berlari 30 kilo meter setiap pagi. Itulah yang membuat tubuh rentanya masih terlihat sehat seperti sekarang.

“Kalau pagi itu sarapannya 30 kilo lari. Alhamdulillah sampai sekarang saya masih sehat, walaupun umur saya sudah banyak tapi saya masih kuat,” tuturnya.

Kendati demikian, Moekari sejatinya tidak menyadari bahwa bangsanya sedang dijajah. Semua serba ada dan serba murah, hanya pendidikan yang memiliki harga mahal waktu itu.

“Kita itu dijajah tapi nggak ngerti, seperti halnya dijajah Belanda. Karena keadaannya enak, semuanya serba ada dan serba murah. Hanya pendidikan dulu itu mahal, kita hanya sedang di bodoh-bodohi,” urainya.

Merebut kemerdekaan dari penjajahan Belanda memang tidak mudah, kata Moekari. Itu membutuhkan semangat juang dan pengorbanan tinggi, termasuk harus berkorban jiwa dan raga.

Ketua Korps Cacat Veteran Republik Indonesia cabang Surabaya yang kini berjuang untuk para janda dan keluarga cacat veteran itu menceritakan, banyak sosok pahlawan yang rela berkorban demi negara untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda.

Kapten (purn) Moekari, demikian pangkat terakhirnya, masuk dalam satuan polisi yang saat itu memiliki peran penting dalam era kemerdekaan. Bulan Agustus 1945 tidak ada pasukan bersenjata. Yang ada hanyalah Polisi Istimewa. Justru tanpa pasukan ini tidak akan ada Hari Pahlawan 10 November 1945.

Pada saat pelucutan senjata Jepang, TKR belum terbentuk. Pada waktu itu yang ada hanya Polisi (baik Umum, Central Special Police, maupun Polisi Istimewa) yang memiliki senjata.

Cerita Moekari, Polisi Istimewa saat itu yang memelopori pelucutan senjata Jepang. Polisi Istimewa maju ke depan melucuti senjata Jepang. Sehingga tak heran bila Polisi Istimewa yang kemudian berganti nama Mobile Brigade sebagai sebuah kesatuan militer menerima anugerah tanda jada pahlawan atas jasa di dalam perjuangan gerilya membela kemerdekaan negara.

Kesiapan dan kematangan polisi terjun ke medan laga, dalam kancah perjuangan revolusi kemerdekaan tidak terjadi begitu saja. Kekuatan dibangun tidak cuma sehari. Tindakan progresif revolusioner – memaklumkan diri sebagi Polisi Republik Indonesia dengan tindakan melilitkan ban putih dengan tulisan merah ‘Polisi Istimewa’ pada lengan kiri atas dan lencana merah putih berbentuk lonjong di peci, mengganti lambang Sakura, merupakan tindakan yang memerlukan keberanian luar biasa.

“Komandan saya itu orang Sulawesi, orangnya pinter dan jujur. Namanya Mohammad Jasin. Kalau saya ini pasukan khusus RI. Semua perang saya ikuti,” ucap Moekari.

Dia mengisahkan, kala itu perang berlangsung cukup menegangkan. Akibatnya, lulusan terbaik pendidikan polisi Tokobeitsu Kaesatsu Tai pada 1944 ini terpaksa kehilangan kaki kirinya saat menghalau pasukan Belanda yang hendak masuk ke wilayah Ponorogo, Jawa Timur saat agresi militer Belanda kedua sekira 1949.

Ceritanya, saat itu Moekari dan anggotanya tengah berada di dalam Pabrik Gula Pagotan. Dia dan pasukannya tiba-tiba diserang dengan tembakan oleh musuh dari pesawat dan tank yang sudah mengepung.

Moekari mengalami cacat permanen. Dia harus kehilangan kakinya saat terlibat peperangan di Pabrik Gula Pagotan wilayah Ponorogo, Jawa Timur saat agresi militer Belanda II tahun 1949.

Moekari mengalami cacat permanen. Dia harus kehilangan kakinya saat terlibat peperangan di Pabrik Gula Pagotan wilayah Ponorogo, Jawa Timur saat agresi militer Belanda II tahun 1949.

Sebanyak 15 anggotanya tewas tertembak, sedangkan ia selamat walau kaki kirinya ditembus peluru oleh musuh. Luka tembak tersebut mengakibatkan cacat permanen.

“Karena di dalam pabrik, ditembak nggak apa-apa. Pabrik diserang pesawat dari atas. Mau nggak mau kita keluar, ya kena semua wong di luar sudah dijaga. Saya selamat, kawan-kawan saya tewas,” cerita Moekari dengan antusias.

Meski kehilangan kaki kirinya, Moekari ikhlas dan mengaku rela mati demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari jajahan pasukan militer Belanda, meski kalah dalam hal persenjataan.

“Perang itu ngeri. Senang tapi ngeri. Mati itu bagi saya nggak ada artinya. Saya nggak takut mati. Padahal nggak dapat apa-apa. Hanya semangat perjuangan itu selalu ada,” tuturnya dengan penuh semangat.

Saat terluka. Moekari dikirim ke Rumah Sakit Simpang, milik Belanda di Surabaya. Lalu dia dipindah ke Ponorogo. Saat mau sembuh, dia kembali dicari Belanda untuk diinterogasi.

“Saya dikirim oleh dokter ke Madiun dan nama saya diganti. Dokter zaman dulu dengan para pejuang benar-benar melindungi,” lanjutnya.

Setelah peristiwa perang yang membuat ia kehilangan kaki kirinya, pada tahun 1950 Moekari tak lagi bertempur di medan perang. Perjuangannya dilanjutkan oleh Legiun Veteran (Legiun Veteran adalah penerus pejuang cacat veteran). Mohammad Jasin, saat itu tidak melaporkan bahwa Moekari kehilangan satu kakinya. Sehingga ia tidak mendapatkan tunjangan dari pemerintah.

“Komandan saya itu orangnya baik betul. Jadi saya ini sudah cacat, tapi nama saya tidak cacat dan utuh. Sekarang saya sengsara, kawan-kawan saya yang cacat dapat tunjangan. Karena saya dilaporkan tidak cacat oleh komandan saya, ya nggak diberi,” kata Moekari.

Cerita Moekari berjuang untuk kemerdekaan tidak hanya berhenti di situ. Selain mengalami cacat permanen, karirnya juga terhambat. Penyebabnya, atasannya berpangkat Mayor saat bertugas di Surabaya tahun 1973 sengaja menghambat dirinya.

“Saya malah mau dipensiunkan dini. Tapi Kapolda Jawa Timur waktu itu, pangkat Mayjen ada yang mengenal saya. Kebetulan dia yunior saat berjuang dulu. Atasan saya yang berpangkat Mayor itu dimarahi dan sejak itu pangkat saya lancar. Sampai tahun 1983 saya pensiun dengan pangkat Kapten di Brimob,” ujarnya.

Cerita tentang banyaknya pecundang saat revolusi fisik di Jawa Timur memang bukan isapan jempol belaka. Memang tidak banyak yang terungkap di buku-buku sejarah, tapi ini menjadi nyata buat Moekari.

Godaannya memang berat, konsekwensinya juga tidak ringan. Jika ikut Republik, polisi rahasia Belanda selalu mengintai. Belanda pun pakai cara suap untuk mempreteli kekuatan militer Republik. Ini yang dialami Moekari di Malang.

Sebagai polisi, Moekari pernah ditawari seorang tentara Belanda berpangkat Mayor. Dia diiming-imingi gaji besar, rokok kelas satu, pakaian baru yang bersih, jika mau bergabung menjadi polisi Belanda.

“Waktu itu saya tolak. Selain karena saya sudah ikut dengan Mohammad Yasin yang pilih Republik, juga karena saya takut dibunuh oleh tentara Republik. Waktu itu memang pengkhianat dihalalkan darahnya. Mayor itu pun maklum dengan pilihan saya,” pungkasnya.dbs

*) Berita ini dipersembahkan oleh Gerakan Peduli Pejuang Kemerdekaan dan Cacat Veteran RI (GEPPECVET RI). Komunitas ini juga menggalang donasi yang ditujukan bagi para pejuang bangsa, khususnya pejuang kemerdekaan dan cacat veteran. Donasi akan disalurkan sesuai dengan amanah

Sumber : http://ift.tt/2fnHzFH

The post Bukti Nyata Bahwa Polisi Bagian Dari Perang Kemerdekaan appeared first on Halo Dunia.



from Halo Dunia http://ift.tt/2dU1PcU
via IFTTT