Surat Terbuka dari Jurnalis Senior untuk Buni Yani
(Pemlintir Transkrip Pidato Ahok di Kepulauan Seribu)
True popularity comes from acts of kindness rather than acts of stupidity ~ Bo Bennett.
Bung, mungkin kamu sekarang merasa bangga. Namamu mendadak terkenal, diundang tampil di TV, dikutip koran dan media lainnya. Disebut-sebut dalam banyak perbincangan media sosial.
Barangkali dadamu berasa penuh sekarang. Melihat massa tumpah ke jalanan, diliput secara live oleh TV-TV lokal dan nasional. Juga masuk ke pemberitaan internasional.
Namamu mendadak gemerlap seperti percik kembang api yang meledak di udara. Indah sesaat, meski yang ia tinggalkan kemudian hanyalah abu dan debu.
Kamu mengaku pernah menjadi jurnalis. Tapi aku ragu, selain selama hampir 30 tahun aku jadi wartawan tak pernah mendengar namamu, ada pekerjaan jurnalistik elementer yang kamu langkahi begitu saja: masalah akurasi. Ini soal check and recheck. Yang aku lihat, memang tak ada akurasi dalam kegiatanmu kemarin ketika dengan enteng kamu pencet tombol “upload” di laman FBmu. Kesalahan yang kemudian menjadi fatal.
Bung, katanya kamu juga menjadi pengajar komunikasi. Tapi aku tak bisa membayangkan, bagaimana cara kamu mengajarkan teori-teori komunikasi kepada para mahasiswamu, kalau untuk materi sesensitif itu kamu sudah teledor?
Tak mungkin tak kamu sadari, selain teks (yang keliru karena ada satu kata yang kamu hilangkan), kamu juga pasti tahu ada konteks besar sosial-politik-budaya-ideologi yang sedang bertarung saat ini. Butuh seribu kali pertimbangan, dengan nalar yang jernih, bagi siapa pun yang waras untuk mengunggah materi sesensitif itu ke media sosial. Atau memang itu sebuah kesengajaan?
Bung, harga yang harus dibayar bangsa ini terlampau mahal. Kamu lihat apa yang terjadi semalam, usai demonstrasi besar yang berlangsung damai sepanjang hari? Memori peristiwa traumatik yang terjadi pada 1998 lalu seolah berputar kembali.
Bangsa ini sudah terlampau sering dicabik-cabik kekerasan. Luka-luka itu belum sembuh betul. Kita sudah banyak tertinggal dengan bangsa-bangsa lain antara lain karena banyak di antara kita terlampau sibuk berkelahi di dalam. Berkelahi atas dasar primordialisme.
Sebagian dari kita terlampau tekun mengais perbedaan ketimbang mencari persamaan dalam perbedaan. Sebagian dari kita begitu takut dan merasa insecure, dan karena itu lebih memilih untuk menarik diri ke dalam kelompoknya sendiri, membuat kategori siapa “kami” siapa “mereka”.
Ya, luka-luka itu belum kering betul. Celakanya, alih-alih berjuang mempercepat kesembuhan, sebagian dari kita justru lebih suka membuat luka-luka itu terus terkoyak.
Itulah yang aku sebut sebagai konteks. Tentu kamu paham soal ini. Tapi kalau kamu tak merasa ada yang salah dengan apa yang sudah kamu lakukan, ya sudahlah. Bukan tugasku untuk menyadarkanmu.
Nikmati saja popularitas yang sedang berhembus ke arahmu. Mungkin itu bisa menjadi bekal bagimu untuk naik tangga kekuasaan. Atau minimal, menaikkan posisi tawarmu entah pada siapa.
Only time will tell.
Heru Hendratmoko (HH)
Mantan Ketua AJI Indonesia dan Pemred KBR68H
The post Surat Terbuka dari Jurnalis Senior untuk Buni Yani, Pemlintir Transkrip Pidato Ahok di Kepulauan Seribu appeared first on Halo Dunia.
0 Comments