Jepang terlibat langsung dalam Perang Dunia II, khususnya di kawasan Asia Pasifik atau yang disebut juga sebagai Perang Asia Timur Raya. Perang Dunia II dimulai ketika Jerman yang dikuasai Nazi pimpinan Adolf Hitler meyerang Polandia pada 1 September 1939.
Selanjutnya, tanggal 10 Mei 1940, Jerman menyerang Belanda yang membuat pemerintahannya goyah. Situasi terbaru ini membuka wacana terkait kedudukan Belanda di wilayah-wilayah koloninya, termasuk Hindia Belanda atau Indonesia.
Dikutip Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) karya M.C. Ricklefs, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, mengungkapkan bahwa akan terjadi perubahan setelah perang berakhir.
Pada 1940, Jepang beraliansi dengan dua negara fasis di Eropa yakni Jerman serta Italia untuk menghadapi Sekutu di medan Perang Dunia II. Jepang, Jerman, dan Italia membentuk Blok Poros. Sedangkan Blok Sekutu terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, Perancis, Belanda, dan beberapa negara lainnya.
Jerman kemudian berhasil mengalahkan Perancis dan memberikan kesempatan kepada Jepang untuk membangun pangkalan militer di kawasan Indocina atau Asia Tenggara. Situasi ini membuat Jepang mencium peluang untuk merebut wilayah Indonesia dari Belanda.
Belanda menolak mentah-mentah kehadiran Jepang di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Tidak hanya itu, Belanda juga membekukan seluruh aset Jepang yang ada di Indonesia.
Perlu diketahui, pada 1938-1939 Jepang berhasil masuk ke Indonesia dengan misi ekonomi. Oleh karena itu, Jepang punya aset di Indonesia yang masih dalam cengkeraman pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Jepang merespons dengan memperkuat pangkalan militer mereka di Asia Tenggara. Bahkan, pada 7 Desember 1941, pasukan Dai Nippon secara mendadak menyerang Pearl Harbour, pangkalan militer Amerika Serikat yang berada di Hawaii.
Menurut buku Serangan Jepang ke Hindia Belanda pada masa Perang Dunia II (2009) yang disusun oleh Himawan Soetanto dan kawan-kawan, gebrakan Dai Nippon ke Pearl Harbour segera diikuti gerak maju ke wilayah lain, termasuk Filipina, Myanmar, Hong Kong, Thailand, dan Semenanjung Malaya pada Desember 1941.
Hindia Belanda tak pelak turut terancam. Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer akhirnya menyatakan perang terhadap Jepang.
Tulisan Muhammad Rijal Fadli & Dyah Kumalasari bertajuk “Sistem Ketatanegaraan Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang” dalam Jurnal Sejarah dan Budaya (Volume 13, No. 2, 2019) mengungkapkan, pernyataan perang tersebut direspons Jepang yang kemudian masuk ke wilayah Indonesia pada 12 Januari 1942 melalui Tarakan, Kalimantan Utara, yang berbatasan dengan Malaysia.
Di bawah pimpinan Jenderal Hitoshi Imamura, Jepang dengan cepat menguasai wilayah-wilayah penting di Jawa pada 1 Maret 1942, yakni Teluk Banten, Eretan Wetan di Jawa Barat, dan Kragan di Jawa Tengah.
Selanjutnya, tanggal 5 Maret 1942, Jepang menduduki Batavia dan mengumumkan bahwa kota tersebut tidak lagi dikuasai oleh Belanda. Sore hari pada 7 Maret 1942, pasukan Belanda menyerah kepada Jepang di Bandung. Dari sinilah kemudian Perundingan Kalijati dilakukan.
Dikutip dari Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945 (2001) karya Suhartono, pertemuan dilangsungkan di Kalijati pada 8 Maret 1942. Disepakati bahwa angkatan perang Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang.
Selanjutnya, dilakukan penyerahan kekuasaan atas wilayah Indonesia oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Letnan Jenderal Heindrik Ter Poorten yang merupakan Komandan Angkatan Perang Belanda di Jawa kepada Jenderal Hitoshi Imamura selaku wakil delegasi Dai Nippon.
Sejak saat itu, wilayah Indonesia berada dalam pendudukan pemerintahan militer Jepang. Hingga akhirnya, Dai Nippon mengalami kekalahan dari Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya yang membuka peluang bagi bangsa Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
The post Sejarah Perjanjian Kalijati : Latar Belakang, Isi, & Tokoh Delegasi first appeared on Halo Dunia.
https://ift.tt/2NwyBbD
0 Comments