Semenjak kedatangan Kapten Angkatan Laut Belanda (tidak disebutkan namanya) dan sekitar 6.000 pasukan Goerkha Inggris yang bergabung dalam Brigade ke-49 Divisi ke-26 India dipimpin oleh AWS. Mallaby diboncengi NICA mendarat di Surabaya, telah menimbulkan keresahan di tengah-tengah rakyat Indonesia. Laksamana Shibata Yaichiro, seorang Panglima senior Jepang yang memihak kepada RI yang sempat membukakan gudang persenjataan kepada para pemuda Indonesia, menyerah kepada Kapten AU tersebut, 3 Oktober 1945.
Tetapi dia memerintahkan kepada seluruh pasukannya agar memberikan persenjataan kepada rakyat yang akan bertanggungjawab menyerahkan kepada tentara sekutu. Tentu, rakyat tidak akan memberikan senjata tersebut kepada tentara sekutu yang akan memerangi mereka.
Boeng Tomo dari Barisan Pemberontakan Rakjat Indonesia memberikan komando agar jangan sampai menyerahkan persenjataan kepada Tentara Sekutu. Tak terbayangkan betapa kuatnya Tentara Sekutu Inggris dengan bom pemusnahnya yang telah menghancurkan kota Hirosima dan Nagasaki Jepang. Dengan bambu runcing khas Kiai Soebehi-kelak namanya ditiadakan dalam sejarah kemudian disebutkan nama Tan Malaka sebagai pendiri Barisan Bambu Runcing-, Ulama dan Santri bertekad baja Djihad Fi sabilillah mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dan Agama Islam, walaupun harus berhadapan dengan Tentara Sekutu dan NICA yang memiliki senjata pemusnah. Bangsa Indonesia mempunyai satu semboyan, Lebih Baik Mati Berkalang Tanah dari pada Hidoep Didjajah. Kematian dalam pertempuran melawan penjajahan, diyakini sebagai mati yang indah, gugur sebagai syuhada.
Kemudian hal itu diikuti oleh segenap laskar mempersenjatai dirinya dengan Bambu Runcing. Demikian pula rakyat, secara spontan mempersenjatai dirinya dengan senjata tajam, keris, pedang, tombak, rencong, dan lainnya, siap menghadapi serangan Tentara Sekutu Inggris dan NICA.
Detik-detik Perang Sabil 10 November 1945
Disusul sehari sebelum pecah pertempuran, 9 November 1945, Mayor Djenderal R.C Mansergh Komandan Tentara Angkatan Darat Sekutu memberikan ultimatum kepada segenap rakyat Indonesia agar menyerahkan senjatanya, paling lambat jam 06.00 pagi 10 November 1945. Ultimatum ini tidak didengar oleh rakyat. Semangat perjuangan Ulama dan Santri tak goyah, walaupun harus menghadapi Tentara Sekutu Inggris dan NICA ditambah Divisi India ke-26 seluruhnya berjumlah 15.000 orang. Dibantu dengan senjata pemusnah dan beberapa kapal Destroyer-perusak dari Royal Air Force Inggris. Namun, tidak mampu memadamkan semangat perjuangan melawan penjajahan yang sedang berkobar di hati rakyat.
Dengan adanya Resoloesi Djihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatoel Oelama, 22 Oktober 1945, Senin Pahing, 15 Dzulqaidah 1364 dan dari Partai Islam Indonesia Masyoemi, di Jogjakarta 7 November 1945, Rabu Pon, 1 Dzulhijjah 1364 H, serta panggilan Takbir dari Boeng Tomo, maka hadirlah para Ulama antara lain: Choedrotoes Sjeich Rais Akbar K.H Hasyim Asy’ari dari Pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur. K.H Asyhari dan Kiai Toenggoel Woeloeng dari Yogyakarta. K.H Abbas dari Pesantren Buntet Cirebon dan K.H. Moestafa Kamil dari Syarikat Islam Garut Jawa Barat, ikut memimpin palagan di Surabaya.
Dengan semangat dan jiwa patriotik penuh keberanian, pecahlah peperangan di Surabaya 10 November 1945, Sabtoe Legi, 4 Dzulhijjah 1364. Surabaya berubah menjadi lautan api dan darah. Perang sabil ini, menampakkan keagungan semangat rela berkorban harta dan keberanian jiwa yang tiada tara oleh para Ulama dan Santri bersama Tentara Keamanan Rakyat- TKR yang merupakan gabungan dari para pejuang PETA, KNIL, Hizbullah, Barisan Pelopor, dan Para pemuda lainnya.
Ditambah dengan teriakan Takbir Allahu Akbar yang terus berkumandang dalam kancah peperangan, menjadikan Tentara Sekutu, Goerkha dan NICA tidak berdaya. Mereka tidak sanggup untuk meneruskan operasinya dan kehilangan senjatanya, sehingga mereka harus kembali ke Jakarta untuk menguburkan serdadunya yang menjadi korban.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa Perang Sabil 10 November 1945 di Surabaya, Sabtoe Legi, 4 Dzulhijjah 1364, adalah hasil dari pengaruh semangat religius yang Islami. Karena perang yang menentang maut didorong dengan keyakinan agama, akan bangkit walaupun harus menghadapi musuh dalam jumlah besar.
Oleh karena itu, Boeng Tomo disetiap penutupan pidatonya membakar semangat juang bangsa, selalu diakhiri dengan teriakan Takbir Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Muhammad Natsir menjelaskan alasan mengapa Boeng Tomo selalu mengakhiri pidatonya dengan takbir dalam menutup pidato Radio Pemberontakan, yaitu karena Boeng Tomo memahami siapa yang tepat menjadi teman dalam membela tanah air dan bangsa serta Agama Allah dari ancaman tiap-tiap kezaliman musuh-musuh Allah, kecuali Ulama dan umat Islam.
Penulis : Yasyfi, mahasiswa Makhad Ali An Nur, Sukoharjo
Sumber:
0 Comments