Setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah membentuk Jawatan Kepolisian Negara yang berada di bawah Departemen Luar Negeri. Pada 1 Juli 1946, kepolisian kemudian ditempatkan secara langsung di bawah tanggung jawab Perdana Menteri agar kepolisian menjadi alat negara yang independen dan bebas dari pengaruh politik pihak lain. Kepolisian Negara kemudian dimiliterisasikan dan diintegrasikan sebagai bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Kelembagaan kepolisian memperoleh kembali independensinya pada masa reformasi. Meskipun status Polri telah banyak mengalami perubahan, namun identitas Polri tetap tidak berubah, yakni sebagai alat negara penegak hukum.
Konsep lembaga kepolisian telah terdapat dalam tatanan negara sejak masa feodal. Dasar-dasar organisasi kepolisian modern mulai terbentuk pada masa kolonial, walaupun murni demi kepentingan penjajahan. Ketika Jepang menduduki Indonesia semua perangkat kepolisian dijadikan satu di bawah nama besar kepolisian. Pada masa itu pula, didirikan institusi pendidikan kepolisian.
Pra-Kolonial
Pada sekitar abad ke-7 hingga 15, kegiatan pengamanan dan pembinaan stabilitas Negara (pemolisian) sudah dikenal oleh masyarakat Nusantara. Walaupun bentuk dan sifat kegiatan pemolisian tersebut masih bernuansa tradisional.
Sriwijaya
Kerajaan ini tercatat sebagai kerajaan maritim terbesar yang pernah ada di Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan armada lautnya yang kuat. Raja Sriwijaya memberlakukan suatu strategi pemolisian yang sesuai dengan kerajaan maritim, yakni pengamanan kawasan laut. Strateginya adalah merekrut para bajak laut Selat Malaka. Mereka dipekerjakan sebagai penjaga keamanan laut dan mengamankan aktifitas perniagaan kerajaan dari segala gangguan bajak laut lain yang tidak terikat kontrak dengan raja.
Majapahit
Perangkat alat pengamanan masyarakat yang diterapkan adalah bertipe ruler-apointed-police dalam bentuk pengawal pribadi raja. Nama perangkat kepolisian itu adalah Bhayangkara. Mahapatih Gajah Mada memimpin Bhayangkara sejak masih perwira muda hingga ia meninggal pada 1364. Penamaan Bhayangkara berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti anti bahaya. Pada mulanya nama ini menggunakan huruf “A” di depannya, yakni Abhayangkara. Namun karena percakapan sehari-hari berangsur-angsur pengucapan “A”-nya hilang. Akhirnya, Abhayangkara berubah menjadi Bhayangkara.
Bhayangkara ialah pasukan darat yang melakukan fungsi pemolisian. Terdiri dari dua jenis, yakni Bhayangkara Andhika untuk menjaga keamanan kota dan Bhayangkara Lelana untuk menjaga keamanan daerah. Satuan ini beranggotakan 15 orang.
Sedangkan pada 1651, VOC mengangkat satu jabatan untuk mengamankan daerah di luar Batavia, yakni Landdrost. Untuk membantu tugas Landdrost dibentuklah Korps Marechaussee dibawah pimpinan seorang Letnan dari Maluku. Korps ini berpatroli di daerah penduduk pribumi. Adanya korps baru ini membuat tugas Landdrost semakin berkurang. Maka pada 1798 jabatan ini digabungkan dengan jabatan Balyuw dari Batavia. Sehingga lahir jabatan baru, yakni Balyuw der Staad Batavia & Drossaard der Bataviasche Ommelanden (Balyuw dari Kota Batavia dan Drossard dari daerah sekitarnya). Jabatan baru ini dibantu seorang Schout dalam tugas pengamanan.
Kolonial
Masa VOC
Sistem kepolisian pada masa VOC pertamakali dibuat oleh J. P. Coen. Dimaksudkan untuk mengantisipasi kedatangan pedagang Inggris yang berniat dagang di Batavia. Coen berpikir, apabila tidak ada satuan pengamanan kota di Batavia ketika Inggris datang dan berdagang, ada kemungkinan Inggris akan segera menyusun pemerintahan dagang sendiri yang “anti Batavia”. Maka, ditunjuklah Jan Steyns van Antwerpen sebagai Balyuw, yang berkekedudukan sebagai Opsir Justisi merangkap Kepala Polisi. Dibawah Balyuw terdapat Polisi Kota yang dibantu para Wijkmeesters, seorang wakil bernama Subtituut, dan empat pembantu (kemudian menjadi 44), bernama diefleyders atau kaffers (penjaga maling) yang biasanya berpakaian merah. Selain itu, dibawah Balyuw ada ratelwatcht (Penjaga Malam) yang dilengkapi kleper. Tugasnya adalah ronda malam dan membunyikan kleper-nya sebagai peringatan kepada warga agar selalu waspada dan berjaga-jaga akan tindak kejahatan.
Era Hindia Belanda
Hindia Belanda
Selain satuan kepolisian yang resmi dan umum, sepanjang abad 19 di Jawa terdapat pula Polisi Desa yang terdiri dari dua macam, yaitu yang resmi (Jagabaya) dan yang tak resmi (polisi masyarakat). Biasanya Polisi Desa berasal dari kalangan Jago, Jawara, Bromocorah, atau Jagabaya. Jago adalah suatu kombinasi antara polisi setempat dan orang kuat, berani, berbakat mistik di pedesaan atau penjahat. Dengan kata lain para lurah itu menggunakan cara “menangkap maling dengan maling”. Tugas dari Jagabaya adalah membantu Lurah dalam menjaga tata-tentram dan menangani masalah pencurian, pembunuhan, perkelahian, dll. Metode kerja yang dipakai untuk mengusut kasus kejahatan kala itu memakai cara kekerasan (penahanan, penggeledahan paksa, siksaaan, sanderaan terhadap diri, teman atau keluarga si penjahat yang dicurigai, dll).
Pada masa pemerintahan Herman Willem Daendels, di Batavia sering terjadi tindakan kriminal yang dilakukan oleh bekas prajurit Mataram. Kondisi demikian membuat Daendels memerintahkan untuk membentuk pasukan berkuda (Jayengsekar). Pasukan berkuda ini bertugas melakukan patroli keamanan di sekitar Batavia. Pasukan ini juga bertugas menjaga pertahanan dari kemungkinan serangan tentara Inggris.
Bentuk-bentuk kepolisian yang ada pada masa pemerintahan Hindia Belanda diantaranya adalah Algemenne Politie (Polisi Umum), Stadpolitie (Polisi Dewan), Gewapende Politie (Polisi Bersenjata), Veld Politie (Polisi Lapangan), Cultuur Politie (Polisi Perkebunan), dan Bestuur Politie (Polisi Pamong Praja). Sempat pula lembaga kepolisian menjadi Dienst der Algemene Politie yang secara struktural berada di bawah Pemerintahan Dalam Negeri (Departement van Binnenlandsch Bestuur). Sedangkan di daerah, kewenangan politik kepolisian ada di tangan residen. Para perwira polisi yang bertugas selaku kepala polisi lokal hanya menyandang wewenang teknis kepolisian (Technisch Leider).
Tahun 1811-1815 Inggris berhasil menguasai pulau Jawa di bawah pimpinan Sir Thomas Stanford Raffles. Pada masa ini sistem kepolisian mengalami perubahan yang cukup signifikan di mana dasar-dasar dan organisasi kepolisian di Indonesia mulai muncul lebih jelas apabila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Melalui Regulation 1814 Raffles membagi Pulau Jawa menjadi beberapa distrik atau kabupaten yang dipimpin bupati. Tiap kabupaten dibagi lagi menjadi divisi atau kawedanaan yang dipimpin wedana. Dalam tiap-tiap kawedanaan inilah terdapat station of police, yakni kantor Mantri Polisi dan pegawai kepolisian. Sedangkan pada tingkat desa tugas polisi dijalankan Kepala Desa (Headman) dan dibantu Penjaga Malam (nachtwacht).
Setelah Belanda kembali menguasai Jawa pada 1815, keluarlah peraturan mengenai tugas kepolisian tahun 1819, yaitu Provisioneel Reglement op de Crimineele Rechtsvordering bij het Hooggerechtshof en de Raden van Justitie (peraturan kepolisian bagi bangsa Eropa) dan Reglement op de Administratie der Politie en de Crimineele en Civiele Rechtsvordering onder den Inlander in Nederlandsch Indie (peraturan kepolisian bagi masyarakat pribumi dan Timur Asing). Menurut peraturan ini, rechtspolitie bagi bangsa Eropa dilakukan dibawah pengawasan Pokrol Jenderal (pimpinan utama semua pegawai kepolisian) yang pelaksaannya dilakukan para Opsir Yustisi (pimpinan semua pegawai bawahan polisi). Sedangkan Rechtspolitie untuk kalangan pribumi dan Timur Asing diserahkan kepada Kepala Desa yang berada dibawah komando dan pengawasan dari wedana dan bupati daerahnya masing-masing.
Dalam rangka membentuk organisasi kepolisian yang rapi dan teratur maka pada 1911 diadakanlah reorganisasi kepolisian kota-kota besar (Batavia, Semarang, dan Surabaya) dengan cara mensistematis-kan struktur komando dan kepangkatan. Pemerintah juga membentuk korps polisi baru, yaitu Polisi Lapangan (Veldpolitie) yang termasuk dalam susunan Polisi Umum. Kehadiran Polisi Lapangan secara langsung telah menghapus adanya Polisi Bersenjata yang kerap melakukan teror dan tidak dapat merebut kepercayaan rakyat sebagai penjaga keamanan.
Korps baru ini bertugas menjaga keamanan, ketertiban, dan ketenteraman (Velligheid, Orde en Rust) di luar ibukota keresidenan dan kabupaten. Lalu, untuk menangani masalah reserse dan politik luar kota maka dibentuklah Dinas Reserse Daerah (Gewestelijke Recherche). Kedua satuan baru tersebut dibentuk pada 1920, tatkala kegiatan dan perlawanan politik kaum Bumiputra terhadap pemerintah Kolonial tengah berkembang. Polisi Lapangan memiliki sifat tugas preventif, sedangkan Polisi Dinas Reserse bertugas lebih represif (polisi kriminal). Sebagai Polisi Kriminal di luar kota, Dinas Reserse ini membutuhkan satu agen khusus yang bertugas mengumpulkan bahan-bahan tentang kegiatan politik dan perlawanan di daerahnya masing-masing. Maka dari itu, didirikanlah P.I.D, Politieke Inlichtingen Dienst (Badan Intelijen Polisi) pada Mei 1916.
Masa Pendudukan Jepang
Pada masa Pendudukan Jepang, bidang kepolisian disesuaikan dengan kepentingan pendudukan militer Jepang di Indonesia Pembagian sistem kepolisian sesuai dengan pembagian kepemimpinan militer yang terdiri atas tiga kawasan pemerintahan militer: Kawasan Jawa dan Madura yang merupakan daerah pemerintahan militer Angkatan Darat Jepang (Rikugun) ke-16, pusat badan kepolisian berada di Jakarta merangkap sebagai pusat kawasan kawasan militer tersebut.
Kawasan Sumatera dibawah kepemimpinan militer Angkatan Darat Jepang (Rikugun) ke-25, pusat kepolisiannya berada di Bukittinggi dan merupakan ibukota/pusat kawasan militernya.
Sedangkan untuk kawasan Indonesia Timur (Sulawesi, Maluku, Irian Barat, Kep. Sunda Kecil), pusat militer dan kepolisiannya bertempat di Makassar, dan untuk kawasan Kalimantan pusat militer dan kepolisiannya bertempat di Banjarmasin.
Pada masa Pendudukan Jepang, semua pegawai-pegawai polisi Belanda ditawan dan diganti dengan pegawai polisi bangsa Indonesia, genzu-min. Pemerintah militer Jepang pun meniadakan pembedaan kepolisian seperti yang terjadi pada masa kolonial Belanda (Polisi Perkebunan, Polisi Pangreh Praja, Polisi Lapangan, dll). Semua perangkat kepolisian dijadikan satu dibawah nama besar kepolisian atau Keisatsutai, khususnya untuk kawasan Jawa dan Madura.
Salah satu strategi yang dilakukan Jepang untuk menambah kekuatan militernya dalam perang, maka dibentuklah Tokubetsu Kaisatsu atau Polisi Istimewa (Polisi Bersenjata, cikal bakal dari Brigade Mobil, masa kini) pada setiap Syu (karesidenan) dan Koci (kabupaten) di Jawa dan Madura. Tokubetsu Kaisatsu dibentuk sebagai Pasukan Penggempur di bawah perintah Syu Chiang Butyo, yang pada setiap Karesidenan mempunyai jumlah anggota antara 60 hingga 150 orang.
Proklamasi Kemerdekaan
Hari-hari Pertama setelah Proklamasi
Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan tonggak bagi kemerdekaan Indonesia. Proses proklamasi yang berjalan cepat dan agak mendadak mengakibatkan reaksi yang beragam di kalangan masyarakat, pun demikian di kalangan kepolisian. Pada tanggal 19 Agustus 1945 anggota-anggota polisi di markas Tokubetsu Keisatsu Tai Semarang menurunkan bendera Hinomaru dan menggantinya dengan Sang Saka Merah Putih secara lancar dan tertib. Beberapa hari setelah peristiwa pengibaran tersebut, para anggota markas kepolisian Surabaya mengadakan pertemuan yang dipimpin oleh IP.1 M. Jassin dan PIK.1 Soetardjo yang menghasilkan keputusan bahwa para anggota kepolisian bersedia untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sementara itu, pada tanggal 21 Agustus empat keishi (komisaris polisi di tingkat Karesidenan) di Padang, yaitu Ahmadin Datuk Berbangso, Kaharudin Datuk Rangkayo Basa, R. Suleiman, dan Sulaiman Effendi setelah mendengar kabar proklamasi telah dikumandangkan langsung memerintahkan anak buahnya untuk mengambil senjata agar tidak disalahgunakan oleh pihak Jepang. Sedangkan Polisi di ibukota Jakarta lebih belakangan dalam menyatakan bergabung secara resmi kepada republik dibanding dengan daerah lainnya pada pada tanggal 30 Agustus 1945, pernyataan bergabung ini dihasilkan setelah para pegawai polisi tersebut menyatakan bahwa mereka adalah pegawai Republik Indonesia dan tunduk kepada pimpinan nasional.
Terbentuknya Kepolisian
Pengangkatan R.S. Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara yang Pertama dan Terbentuknya Kepolisian Nasional Indonesia
Dalam rangka membentuk lembaga kepolisian yang terstruktur dan organisasional Presiden Soekarno menunjuk Raden Said Soekanto Cokrodiatmojo sebagai Kepala Kepolisian Negara RI atas saran dari Iwa Kusumasumantri dan Mr. Sartono. Penunjukan ini dilakukan dalam sidang kabinet pada tanggal 29 September 1945 tanpa sepengetahuan dirinya.
Pengangkatan Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara merupakan langkah awal pembentukan kepolisian nasional yang integratif. Hal ini terlihat dari upaya untuk menyatukan satuan-satuan polisi di daerah yang mandiri dan tanpa koordinasi setelah kemerdekaan dalam Kepolisian Negara RI. Sejak peresmiannya, Kepolisian Negara memikul tanggungjawab keamanan yang berat karena tentara nasional belum dibentuk secara resmi.
Pertempuran 10 November di Surabaya
Pertempuran 10 November 1945 di kota Surabaya diawali oleh ultimatum Mayor Jenderal Mansergh, Panglima Tentara Darat Sekutu di Jawa Timur, yang memerintahkan rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata yang mereka miliki. Ultimatum ini menimbulkan kemarahan rakyat Surabaya karena dianggap menghina dan merendahkan martabat bangsa Indonesia. Setelah mengadakan pertemuan guna menindaklanjuti ultimatum tersebut, Pada tanggal 9 November 1945, Gubernur Suryo berpidato agar seluruh rakyat Jawa Timur bersiap-siap mengangkat senjata untuk menghadapi agresi Inggris.
Keesokan harinya pertempuran pun pecah, segenap lapisan masyarakat, polisi, TKR, pemuda, dan pelajar bahu membahu melakukan perlawanan. Walaupun perbedaan kekuatan dengan tentara sekutu sangat besar namun itu tidak menyurutkan semangat tempur rakyat Surabaya dan kota Surabaya berhasil dipertahankan selama 21 hari.
Jawatan Kepolisian Pindah ke Purwokerto
Pada awal tahun 1946 Jakarta sudah sepenuh- nya dikuasai oleh Sekutu. Atas pertimbangan situasi yang demikian gentingnya, ditambah dengan kenyataan bahwa Jakarta sudah sepenuhnya diduduki Sekutu, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta Menteri Pertahanan Amir Sjarifudin pindah ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946. Dan sejak saat itu Yogyakarta ditetapkan sebagai Ibukota Republik Indonesia. Selanjutnya kantor-kantor pemerintahan lainnya juga memindahkan tempatnya dari Jakarta. Kementrian Dalam negeri termasuk Kepolisian Negara RI merupakan salah satu yang turut berpindah tempat. Purwokerto dipilih sebagai tempat baru kantor Kementrian Dalam Negeri. Sedangkan Kantor Kepolisian Jakarta Raya dipindahkan ke Subang.
Pembentukan Mobiele Brigade (Mobrig)
Salah satu langkah yang ditempuh dalam rangka reorganisasi Jawatan Kepolisian Negara di Purwokerto adalah menyeragamkan nama, susunan kepangkatan, tugas, dan cara kerja dari Pasukan Kepolisian yang berada di tiap karesidenan. Salah satu yang dilakukan adalah membentuk Mobiele Brigade (Mobbrig) pada tanggal 14 November 1946.
Pada awalnya Pembentukan Mobbrig tidak memerlukan penambahan pegawai karena anggota-anggotanya cukup diambil dan dipilih dari para anggota kepolisian yang ada, yang sehat, muda, dan sedapat mungkin belum berkeluarga. Tujuan dari dibentuknya Mobbrig adalah tersusunnya pasukan-pasukan kecil sebagai inti dari kepolisian yang kuat persenjataannya dengan mobilitas tinggi.
Penghimpunan Anggota Kepolisian dalam P3RI
Perasaan senasib dan sepenanggungan di antara sesama warga kepolisian memunculkan keinginan untuk mewadahi seluruh warga kepolisian dalam satu organisasi. Keinginan itu diwujudkan dengan pembentukan Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) di Madiun pada 12 Mei 1946. Tujuan didirikannya organisasi ini adalah dalam rangka memper- satukan berbagai organisasi perjuangan kepolisian di berbagai daerah seperti Angkatan Muda Polisi RI (AMPRI) Yogyakarta, Pemuda Polisi RI (PPRI) Kediri, Barisan Polisi Istimewa (BPI) Solo, Persatuan Sekerja Polisi (PSP) Purwokerto, dan Ikatan Buruh Polisi Republik Indonesia (IBPRI) Bojonegoro.
Revolusi
Agresi Militer Belanda I
Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer dan mulai merebut tempat-tempat penting yang ada di Jawa dan Sumatera, karena dua tempat ini adalah yang secara de facto diakui sebagai wilayah RI. Adanya Agresi Militer ini menyebabkan terganggunya keamanan sehingga Polisi RI juga dikerahkan di garis depan untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Tidak berapa lama kemudian Belanda mendapat desakan dari berbagai pihak untuk menghentikan agresinya. Sekutu Belanda (Amerika, Inggris), PBB, India, serta Australia mendesak agar dilakukan gencatan senjata. Gencatan senjata dilakukan pada 4 Agustus 1946. Untuk membantu perundingan Indonesia – Belanda dibentuk Komisi Tiga Negara (Belgia, Australia, Amerika). Setelah Persetujuan Renville tanggal 17 Januari 1948, terciptalah Garis Van Mook. Di sekitar garis tersebut terdapat Polisi Keamanan yang mengawasi bila terjadi pelanggaran. Dengan terjadinya Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948, maka berakhirlah masa tugas Polisi Keamanan di sekitar garis tersebut.
Militerisasi Polisi
Pada tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Pertahanan Negara melalui aturan No. 112 memasukkan Kepolisian Negara sebagian atau seluruhnya menjadi kesatuan tentara. Polisi dianggap perlu menjadi bagian dari militer dalam rangka mempertahankan negara RI dari rongrongan Belanda. Fungsi ketentaraan ini dijalankan oleh Korps Mobile Brigade yang membantu perjuangan tentara melawan agresi Belanda.
Perlawan terhadap Agresi Militer I di Daerah-daerah
Sumatera Timur
Pada tanggal 21 Juli 1947, pasukan Belanda menyerang kedudukan pasukan RI di Medan Barat dan Medan Utara. Hari berikutnya, Belanda berhasil menembus ke Medan Timur. Belanda juga berhasil menduduki Tebing-tinggi dan Pematang Siantar. Pasukan Mobbrig terpaksa mundur karena kalah persenjataan namun mereka melakukan serangan balasan ke Pematang Siantar bersama pasukan TNI dan laskar-laskar perjuangan.
Parapat
Pasukan Mobbrig Resimen I Brigade XI yang dipimpin Mayor Kadiran juga turut berjuang di Parapat untuk menahan laju pasukan Belanda yang akan menuju Tapanuli. Di Parapat pasukan Mobbrig bahu membahu bersama penduduk setempat untuk membuat halang-rintang untuk menyulitkan gerak maju pasukan musuh. Namun dalam pertempuran pasukan MB mengalami kekalahan karena persenjataan Belanda yang lebih lengkap.
Palembang
Dalam rangka menahan pasukan Belanda masuk lebih jauh ke dalam Palembang pasukan Mobbrig melakukan perlawanan di daerah Modong. Pada pertempuran tersebut pasukan Mobbrig berhasil membakar sebuah kapal Belanda, namun tentara Belanda berhasil menghancurkan kantor Polisi Modong.
Jawa Barat
Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang banyak terjadi pertempuran pada saat Agresi Belanda I. Beberapa daerah yang menjadi medan pertempuran diantaranya Karawang, Cirebon, Indramayu, Sukabumi, Bandung Utara, dan Bandung Selatan. Pada setiap pertempuran pasukan Polisi selalu turut berjuang melawan tentarasampai titik darah penghabisan.
Jawa Tengah
Jawa Tengah tidak luput dari incaran serangan pasukan Belanda, beberapa daerah yang menjadi incaran belanda diantaranya Pekalongan dan Banyumas. Pada penyerangan ini Belanda berhasil menekan pasukan Polisi namun mereka tidak gentar, bersama para pemuda setempat mereka terus melakukan perlawanan dengan sengit dan pantang menyerah.
Jawa Timur
Jawa Timur juga menjadi area pertempuran yang sengit antara pasukan Belanda dengan pejuang RI. Beberapa daerah yang menjadi medan pertempuran diantaranya Malang, Mojokerto, Madura, dan Bondowoso. Pasukan Polisi kembali mengadakan perlawanan sepeti di daerah lainnya dengan persenjataan seadanya namun bersama dengan pemuda setempat mereka terus melakukan perlawanan terhadap agresi Belanda.
Pembentukan Polisi Keamanan (PK)
Setelah perundingan Renville, dibentuklah satuan Polisi Keamanan yang berfungsi untuk menjaga keamanan di sepanjang garis demarkasi. Beberapa tugas mereka adalah :
Jawatan Kepolisian Pindah ke Yogyakarta
Seiring dengan makin gentingnya situasi kemanan nasional dan didudukinya Purwokerto oleh pasukan Belanda, markas pusat kepolisian dipindahkan ke Yogyakarta. Terhitung sejak tanggal 1 Desember 1947 Jawatan Kepolisian Negara secara resmi ditetapkan berkedudukan di Yogyakarta dan berkantor di bawah satu atap dengan Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta di Jalan Reksobayan.
Menumpas Pemberontakan PKI Madiun 1948
Perjanjian Renville menimbulkan adanya pertentangan politik yang cukup sengit akibat perbedaan pandangan di antara kelompok- kelompok politik mengenai perjanjian itu karena dianggap banyak merugikan pihak RI. Beberapa partai pun menarik diri dari kabinet diantaranya Masyumi dan PNI. Lalu ketegangan politik ini disusul dengan mundurnya Amir Syariffudin sebagai Perdana Menteri lalu dia mendirikan Front Demokrasi Rakyat. Pada perkembangan selanjutnya Amir Syarifudin bertemu dengan gembong PKI, Muso, yang baru saja kembali dari Uni Soviet. Mereka lalu memproklamirkan berdirinya Republik Sovyet Madiun. Karena dianggap sebagai bentuk penghianatan terhadap republik maka dilakukan penumpasan terhadap pemberontakan ini.
Kepolisian Negara juga ikut serta dalam memberantas pemberontakan PKI Madiun. Kepala Polisi komisariat Jawa Timur memerintahkan Komandan Mobbrig Besar Jawa Timur Komisaris Polisi 1 M. Jasin membentuk pasukan. Tanggal 30 September 1948 pasukan Mobbrig Polisi menyerbu Madiun. Sekitar pukul 14.00 pasukan Mobbrig sudah memasuki kota Madiun dari arah timur, sedangkan pasukan Siliwangi dari arah barat. Sekalipun kota Madiun berhasil dikuasai operasi Mobrig tetap dilanjutkan untuk membersihkan sisa-sisa pemberontak yang telah melarikan diri ke arah Ponorogo. Dalam pengejaran pemberontak di Ponorogo, Musso berhasil ditembak mati.
Agresi Militer Belanda II
Pada tanggal 19 Desember 1949 Belanda melancarkan agresinya yang ke-2 dengan menyerang ibukota yang pada waktu itu ada di Yogyakarta. Dalam waktu singkat, Belanda berhasil menguasai Pangkalan Udara Maguwo serta kota. Tidak hanya Yogya, Belanda juga menyerang daerah lain yang menjadi teritorial RI. Di Yogya Mobbrig ikut menyerang tentara Belanda yang akan masuk ke dalam kota dan puncaknya dalam serangan umum 1 Maret Mobbrig ikut terlibat aktif di dalam penyerangan tersebut.
Organisasi Kepolisian Selama Agresi Militer II
Setelah Yogyakarta berhasil diduduki oleh pasukan Belanda, polisi bersama alat negara lainnya meninggalkan kota. Di luar kota berpusat Pemerintahan Militer di bawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dibantu oleh Staf Kemanan yang terdiri dari Jaksa Agung Tentara sebagai Kepala Staf, KKN dan Komandan Korps Polisi Militer Jawa masing-masing sebagai Wakil Kepala I dan II.
Sejak tanggal 15 Mei 1949, pemerintahan ini mempunyai suatu alat kepolisian dengan nama Polisi Pemerintahan Militer (PPM) yang terbentuk dari penggabungan Polisi Negara dan CPM. Dalam tiap-tiap komando distrik militer (KDM) dibentuk detasemen yang menangani bagian kriminal, dokumentasi, keuangan, dan perlengkapan. Pimpinan dalam daerah ini dipegang oleh KDM, sedangkan komandan detasemen ialah pegawai polisi atau anggota CPM dengan pangkat paling tinggi.
Demokrasi Parlementer
Sesuai Dengan perjanjian KMB, Indonesia diharuskan mengganti sistem ketatanegaraan nya menjadi bentuk federal yang terdiri dari negara-negara bagian maka Republik Indonesia pun berdiri dan UUD 1945 dianggap tidak berlaku lagi karena tidak sesuai dengan prinsip negara federal.
Wilayah RIS sendiri terdiri atas Negara Republik Indonesia, Negara Indoneisa Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, daerah Jawa Tengah, Daerah Bangka, Belitung, Riau, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, dan daerah Istimewa Kalimantan Barat.
Pada tanggal 16 Desember 1949 di Yogyakarta Ir. Soekrano dipilih sebagai Presiden RIS, Moh. Hatta menjadi perdana Menteri, dan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX sebagai Koordinator Keamanan yang memegang kekuasaan tertinggi atas kepolisian dan institusi kemiliteran, sedangkan sebagai wakilnya diangkat Kepala Kepolisian Negara R.S. Soekanto yang menangani tanggung jawab kepolisian.
Kisah Mangil dan Kawan-kawan
Salah satu hasil dari KMB adalah berpindahnya kembali ibukota Negara ke Jakarta, dari sebelumnya berada di Yogyakarta. Pada tanggal 28 Desember 1949, Presdien RIS, Soekarno, kembali ke Jakarta dengan kawalan ketat pasukan pengawal presiden. Di dalam rombongan itu turut dibawa Bendera Pusaka yang dikibarkan tepat setelah pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945 dan dijahit sendiri oleh Ibu Fatmawati Soekarno menjelang proklamasi.
Rombongan presiden beserta Bendera Pusaka itu dibawa dengan pengawalan pasukan yang dipimpin oleh Ajun Inspektur Polisi (AIP) Mangil Martowijoyo. Anak buah Mangil (anggota polisi Pasukan Pengawal Presiden) yang mengawal rombongan itu adalah Rasmad, Didi Kardi, Sudiyo, Prihatin, Ali Slamet, R. Ramelan, Oding Suhendar, Sudiman, Suharjo, Sukanda, Mohammad Enoh, Ebat, Sumaria Miharja, Karnadi, dan Tupon.
Pembenahan Organisasi dalam Sistem yang Berubah
Berubahnya bentuk Negara Indonesia dari kesatuan ke federal mempengaruhi perubahan struktur dan organisasi kepolisian Negara. Kepolisian yang sejak masa revolusi didesain sebagai kepolisian yang sentralistik dan integratif mendadak berubah menjadi kepolisian federal. Perubahan ini mengakibatkan reorganisasi dalam tubuh kepolisian RIS dimana terjadi banyak tumpang tindih kewenangan karena perubahan ke bentuk negara federal.
Permasalahan bertambah karena negara- negara bagian dalam RIS memiliki alat-alat kepolisian sendiri—yang sudah ada sejak Negara bagian itu dibentuk oleh Belanda— dengan nama Polisi Negara. Sedangkan daerah bagian pada umumnya menggunakan tenaga polisi dari pemerintah federal yang diperbantukan pada masing-masing daerah itu. Polisi RIS sendiri bernaung dibawah Jawatan kepolisian Indonesia dan kemudian menerima peleburan dari kepolisian-kepolsian yang menyatakan diri bergabung dengan Jawatan kepolisian Indonesia Pusat. Adanya dualisme kepolisian ini memunculkan persepsi bahwa keberadaan mereka tidak dalam satu atap dan masing-masing beridiri sendiri tanpa adanya koordinasi yang jelas. Hal ini membuat R.S. Soekanto kesulitan untuk melakukan upaya menentukan status, fungsi, dan peranan kepolisian secara jelas.
Meski banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang, usaha-usaha untuk membangun Jawatan kepolisian RIS yang sesuai dengan keppres No. 22 tahun 1950 terus dilakukan. Dalam menghadapi situasi keamanan yang belum stabil, sangat diperlukan sebuah kepolisian yang sentralistik di bidang kebijaksanaan teknis maupun administrasi. Melalaui Penetapan Perdana Menteri No. 3 tanggal 27 Januari 1950 pimpinan kepolisian diserahkan kepada Menteri pertahanan dengan maksud memusatkan pimpinan kepolisian dan ketentaraan dalam satu atap.
Sementara itu, dualisme antara polisi RIS dengan polisi Negara-negara bagian yang menyangkut soal status, tugas, dan organisasi berusaha dihilangkan. Berdasarkan penetapan Perdana Menteri RIS No. 1/PM/1950 dibentuk Komisi kepolisian dengan tugas utama menyususn dalam waktu singkat rencana UU Kepolisian yang mengatur organisasi, tugas, dan kewajibannya serta hubungan Jawatan Kepolisian RIS dengan kepolisian Negara- negara bagian sesuai dengan UUD RIS .
Menuju Polisi Negara Kesatuan
Dalam upaya untuk mengatasi permasalahan di dalam kepolisian, Pada tanggal 6 Juni 1950 tercapai suatu kesepakatan antara pemerintah RIS (yang juga mewakili pemerintah NIT dan NST) dengan pemerintah RI untuk menciptakan Jawatan Kepolisian di bawah satu pimpinan dengan nama Jawatan Kepolisian Indonesia. Sebagai realisasinya, empat unsur kepolisian yang ada yaitu Kepolisian RIS, Kepolisian RI, Kepolisian NIT, dan Kepolisian NST dilebur menjadi satu dengan identitas sebagai Jawatan Kepolisian Indonesia.
Esoknya, tanggal 7 Juni 1950, Presiden RIS mengeluarkan Ketetapan No. 150 yang mengangkat R.S. Soekanto sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Indonesia dan R. Soemarto (sebelumnya Kepala Kepolisian RI) sebagai Kepala Muda Jawatan Kepolisian Indonesia. Tugas utama dari duet Soekanto-Soemarto adalah melaksanakan peleburan organisasi kepolisian yang ada menjadi Jawatan Kepolisian Indonesia. Sejak saat itulah Jawatan Kepolisian memasuki fase baru sebagai badan kepolisian Negara kesatuan Republik Indonesia.
Menumpas Kaum Separatis
Selama masa Republik Indonesia Serikat berdiri, banyak terjadi gerkan separatis yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Negara bagian buatan belanda. Mereka ber-tentangan dengan kelompok yang menghendaki terciptanya bentuk Negara kesatuan. Gerakan-gerakan ini pada gilirannya mengancam keutuhan bangsa, oleh karena itu kepolisian Indonesia turut menyumbang tenaga untuk menumpasnya demi keutuhan bangsa dan Negara Indonesia.
Beberapa gerakan tersebut diantaranya ialah:
Angkatan Perang Ratu Adil
APRA dibentuk Pada akhir 1949 dipimpin oleh seorang perwira KNIL yang bernama Raymond Westerling. Anggotanya terdiri dari serdadu Belanda yang melakukan desersi dan para anggota KNIL yang frustrasi dengan masa depan mereka lantaran Indonesia dan Belanda mencapai kesepakatan politik. Westerling juga bekerjasama dengan tokoh-tokoh Negara Pasundan yang hendak mempertahankan eksistensi Negara itu. Sebenarnya, gerakan APRA adalah bagian dari skenario yang disusun Sultan Hamid II, seorang menteri Negara dalam Kabinet RIS, untuk menyerang sidang kabinet dan membunuh tokoh-tokoh nasional seperti Menteri Pertahanan Sri Sultan HB IX, Sekjen Kementerian Pertahanan Ali Budiarjo, dan Kepala Staf Angkatan Perang T.B. Simatupang. Namun upaya ini, berhasil digagalkan karena telah tercium oleh aparat intelijen.
Pemberontakan ini dimulai dengan serangan pasukan APRA di kota bandung pada dinihari tanggal 23 Januari 1950. Serangan-serangan yang dilakukan sangat membabi-buta, mereka menembaki siapa saja yang mereka temukan di jalan, terutama para anggota TNI dan kepolisian.
Hari itu juga bantuan dari Jakarta segera datang. Dengan dukungan dari pasukan Mobbrig yang dikomandani oleh Komisaris Polisi tingkat II Sucipto Yudodiharjo. Datangnya bala bantuan itu membuat pasukan APRA mundur dan terpaksa meninggalkan bandung. Tokoh-tokoh yang terlibat pun segera ditangkap.
Bersamaan dengan munculnya pembeontakan APRA, di Jakarta terjadi kekacauan yang diakibat kan oleh ulah gerombolan bersenjata Mat Item yang ternyata ada hubungan dengan APRA. Namun gerombolan ini dapat ditumpas dengan cepat oleh Komandan Mobbrig Pusat Mohamad Jasin yang melakukan penggerebekan ke basis-basis kekuatan germbolan Mat Item dan membangun pos-pos pertahanan di daerah pinggiran Jakarta seperti Ciputat, Ciledug, Cengkareng, Cilincing, Cipinang, Pulogadung, Kramatjati, dan Kedunghalang.
Gerakan Andi Azis
Pemberontakan Andi Azis bermula ketika misi keamanan dari pemerintah RIS ke Sulawesi Selatan dihalang-halangi oleh pasukan Andi Azis. Misi ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusuhan antara golongan yang menghendaki peleburan NIT ke RI dengan golongan yang tetap mempertahankan NIT sebagai Negara bagian tersendiri (dipimpin oleh Soumokil). Andi Azis, seorang perwira KNIL yang loyal kepada Soumokil, dihasut untuk melancarkan pemberontakan di Makassar. Maka pada tanggal 5 April 1950 Andi Azis dengan dibantu oleh prajurit KNIL menyerang dan menawan Panglima Teritorium Indonesia Timur Letkol. Mokoginta, selain mereka juga menyerbu pasukan TNI yang berada di sekitar Makassar.
Pemerintah kemudian memberi ultimatum kepada Andi Azis agar menyerahkan diri dalam waktu 4×24 jam. Ia sebenarnya hendak mematuhi ultimatum ini, namun atas desakan Soumokil ia urung memenuhinya. Presiden lantas menyatakan Andi Azis adalah pemberontak yang mesti segera ditumpas. Dalam menumpas pemberontakan ini, Kesatuan Mobbrig mengirim dua kompi pasukan.
Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Pemberontakan RMS dipimpin oleh Dr. Soumokil, seorang mantan Jaksa Agung NIT, yang menghendaki didirikannya Republik Maluku Selatan pada bulan April 1950. Para pendukung RMS kemudian melakukan terror serta mengintimidasi rakyat Maluku yang setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945 agar mendukung berdirinya RMS. Operasi penumpasan pemberontakan ini juga melibatkan kesatuan- kesatuan Mobbrig seperti Kompi 5157, 5154, dan 5160 pada tahun 1952. Selanjutnya operasi tersebut dipekuat lagi dengan pengerahan Kompi 5121, 5148, dan 5487. Pasukan Mobbrig ini dipimpin oleh Komisaris Polisi V.E. Karamoy hingga tahun 1956.
Demokrasi Terpimpin
Gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959, akhirnya mendorong Presiden Soekarno untuk sampai kepada kesimpulan bahwa telah muncul suatu keadaan kacau yang membahayakan kehidupan negara. Atas kesimpulannya tersebut, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah sistem demokrasi yakni Demokrasi Terpimpin.
Dekrit Presiden
Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapatkan sambutan dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan dekrit tersebut bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung dan KSAD. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959, diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut Presiden Soekarno bertindak sebagai Perdana Menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama.
Manipol-Usdek dan Nasakom
Demokrasi Terpimpin sebenarnya, terlepas dari pelaksanaannya yang dianggap otoriter, dapat dianggap sebagai suatu alat untuk mengatasi perpecahan yang muncul di dataran politik Indonesia dalam pertengahan tahun 1950-an. Untuk menggantikan pertentangan antara partai-partai di parlemen, suatu sistem yang lebih otoriter diciptakan dimana peran utama dimainkan oleh Presiden Soekarno. Ia memberlakukan kembali konstitusi presidensial tahun 1945 pada tahun 1959 dengan dukungan kuat dari angkatan darat. Akan tetapi Soekarno menyadari bahwa keterikatannya dengan tentara dapat membahayakan kedudukannya, sehingga ia mendorong kegiatan-kegiatan dari kelompok- kelompok sipil sebagai penyeimbang terhadap militer.
Soekarno berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling bersaing dari Demokrasi Terpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan kesadaran akan tujuan-tujuan nasional. Ia menciptakan suatu ideologi nasional yang mengharapkan seluruh warga negara memberi dukungan kesetiaan kepadanya. Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi dengan serangkaian doktrin seperti Manipol-Usdek dan Nasakom. Ia menyatakan bahwa Indonesia berperan sebagai salah satu pimpinan “kekuatan-kekuatan yang sedang tumbuh” di dunia, yang bertujuan untuk meng hilangkan pengaruh Nekolim (neokolonialis, kolonialis dan imperialis).
Sampai dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pada bulan Juli 1959, Presiden Soekarno adalah pemegang inisiatif politik, terutama dengan tindakan dan janji-janjinya yang langsung ditujukan kepada pembentukan kembali struktur konstitusional. Pidato kenegaraan presiden pada ulang tahun kemerdekaan RI tahun 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, sebagian besar memuat alasan-alasan yang membenar kan mengapa harus kembali ke Undang- Undang Dasar 1945.
Tiga bulan setelah pidato kenegaraannya itu, Presiden Soekarno menyatakan naskah pidato itu menjadi “manifesto politik Republik Indonesia”. Bersamaan dengan itu presiden mengesahkan rincian sistematikanya yang disusun oleh Dewan Pertimbangan Agung. Dalam pidato-pidatonya di awal tahun 1959, presiden selalu mengungkapkan bahwa revolusi Indonesia memiliki lima gagasan penting. Pertama, Undang-Undang Dasar 1945; kedua, sosialisme ala Indonesia; Ketiga, Demokrasi Terpimpin; keempat, Ekonomi Terpimpin; dan yang terakhir kelima, kepribadian Indonesia. Dengan mengambil huruf pertama masing- masing gagasan itu maka muncullah singkatan USDEK. “Manifesto politik Republik Indonesia” disingkat “Manipol”, dan ajaran baru itu dikenal dengan nama “Manipol-USDEK”.
Kehidupan Politik
Masa Demokrasi Terpimpin
Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpin nya menilai Demokrasi Barat yang bersifat liberal tidak dapat menciptakan kestabilan politik. Menurut Soekarno, penerapan sistim Demokrasi Barat menyebabkan tidak terbentuk nya pemerintahan kuat yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia. Pandangan Soekarno terhadap sistem liberal ini pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia. Partai politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia.
Partai-partai yang ada pada waktu itu berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Namun demikian, Demokrasi Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk berkembang.
Kepolisian Pasca Dekrit Presiden 1959
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tidak hanya berdampak pada berubahnya struktur tata pemerintahan Negara akan tetapi juga mempunyai pengaruh terhadap perubahan- perubahan struktur dalam organisasi Kepolisian Negara. Perubahan pertama adalah terbentuk nya departemen kepolisian ber dasarkan SK. Presiden No. 154/1959 tanggal 15 Juli 1959 berikutnya, berdasarkan SK. Presiden No. 1/MP/RI/1959 sebutan Kepala Kepolisian Negara berubah menjadi Menteri Muda Kepolisian namun buka termasuk kedalam menteri anggota kabinet, dalam hal ini yang menjabat adalah R.S. Soekanto. Untuk membantu Menteri Muda kepolisian dibentuklah lembaga Direktorat Jenderal yang dipegang oleh seorang direktur. Kebijakan lainnya adalah mengubah wewenang kepengurusan bidang keuangan yang semula di bawah Perdana Menteri ke Menteri Muda Kepolisian Negara.
Selain itu, R.S. Soekanto sebagai menteri Muda Kepolisian Negara menindak lanjuti Dekrit tersebut dengan mengadakan Konferensi Dinas Kepolisian pada tanggal 19-20 Oktober 1959 di departemen Kepolisian. Hasil dari konferensi tersebut melahirkan manifesto kepolisian, maksudnya dengan sepengetahuan, kesadaran, dan tanggung jawab, kepolisian secara konkret kembali pada jiwa UUD 1945 dan benar-benar mengabdikan diri pada tujuan revolusi guna mewujudkan masyarakat yang adil dan bahagia.
Era Orde Baru
Dalam Bayang-bayang Militerisme Transisi Menuju Orde Baru
Setelah gagal melakukan kudeta, PKI mulai menjadi musuh bersama masyarakat. Pemerintah berusaha mencari tahu bagaimana pendapat masyarakat tentang keadaan sekarang. Untuk itu pemerintah mebentuk Fact Finding Comission yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri, Mayor Jenderal Sumarno Sosroatmodjo, Anggotanya terdiri dari Menpangak Inspektur Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, Menteri Penerangan Achmadi, Menteri Agraria Hermanses, Menteri Negara Oei Tjoe Tat, Ketua G. V/ Koti Brigadir Jenderal Sunarso, Kilian Sekokan (Parkindo), dan Chalid Mawardi.
Tim ini mulai disebar ke berbagai daerah dari tanggal 27 Desember sampai 6 Januari 1966. Hasil dari perjalanan tersebut menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia menginginkan perubahan dan mengharapakan Presiden Soekarno secepatnya mengambil tindakan penyelesaian politik, namun harapan ini selalu dibalas dengan janji-janji yang tak kunjung direalisasikan oleh Presiden Soekarno.
Ketika situasi semakin menjadi tak pasti di masyarakat, tiba-tiba pemerintah mengeluarkan kebijakan pemotongan mata uang yaitu Rp. 1000 menjadi Rp. 1. Kebijakan ini berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup masyarakat dimana harga-harga menjadi naik melambung tak terjangkau. Melihat situasi yang semakin kacau mahasiswa dan pelajar kemudian turun ke jalan dan melakukan demonstrasi. Pergerakan mahasiswa dan pelajar ini digerakkan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam (KAMI). pada 10 Januari 1966 para demonstran ini kemudian mengumandangkan tuntutan yang terkenal dengan sebutan Tiga Tuntutan Rakyat (TRITURA) yang berisi tuntutan anatara lain: Bubarkan PKI, Retool Kabinet Dwikora, Turunkan Harga.
Untuk menghadapi aksi para mahasiswa dan pelajar ini Presiden mengajak semua masyarakat untuk membentuk “Barisan Soekarno”. Hal ini disampaikan beliau pada saat sidang paripurna Kabinet Dwikora tanggal 15 Januari 1966. Gagasan membentuk “Barisan Soekarno” ini tercetus karena Presiden menganggap adanya upaya pihak tertentu untuk mendongkel kekuasaanya. Usulan ini mendapat dukungan dari Waperdam I Soebandrio yang menyatakan bahwa “Barisan Soekarno” bertujuan untuk menyelamatkan dan memper- tahankan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, Subandrio juga menyatakan siap menghancurkan lawan-lawan politik Soekarno. Selain itu ajakan ini juga mendapat dukungan dari masyarakat namun hasil yang diimpikan ternyata tak kunjung datang bahkan semakin memburuk.
Di lain pihak ABRI berpendapat bahwa “Barisan Soekarno” sebenarya tidak perlu dibentuk karena seluruh rakyat adalah barisan Soekarno. Namun muncul pelarangan pembentukan “Barisan Soekarno” dari Pangdam VI/ SiliwangiI/ Mayjen Ibrahim Adjie dan Men/ Pangad/ Pakopkamtib Letjen Soeharto. Akhirnya pada tanggal 21 Februari 1966 Presiden melakukan retooling kabinet, namun hasilnya sangat mengecewakan karena presiden justru menyingkirkan tokoh-tokoh yang anti PKI seperti Jenderal Nasution dan lebih memilih mempertahankan orang-orang yang tergolong masuk dalam daftar “merah” seperti Ir. Surachman, Oei Tjat Tat, dan dr. Soebandrio. Hal ini memancing kekecewaan publik terutama para mahasiswa dan pelajar yang kemudian turun kembali ke jalan pada hari pelantikan anggota kabinet tersebut pada Februari 1966.
Dalam melakukan aksi demonstrasinya kali ini mahasiswa menggembosi ban mobil-mobil di jalan raya sehingga menyebabkan kemacetan lalu mereka memblokade jalan menuju Istana Merdeka. Ketika para mahasiswa semakin mendekati Istana tiba-tiba pasukan Tjakrabirawa melakukan penembakan secara membabi buta yang kemudian menewaskan seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bernama Arief Rachman Hakim pada tanggal 24 Februari 1966. Selain menghalau para demonstran dengan kekerasan, besoknya KAMI dibubarkan karena dianggap sebagai pemicu kekacauan. Situasi yang tidak kondusif ini juga menimbulkan ketegangan-ketegangan politik dan konstitusional seperti munculnya ketegangan antara MPRS dan Presiden Soekarno dimana MPRS menginginkan Presiden segera menepati keputusan- keputusan MPRS sedangkan di lain pihak Presiden Soekarno dengan dalih UUD 1945 dan menolak untuk memberikan pertanggung- jawabannya kepada MPRS.
Supersemar
Pada tanggal 11 Maret 1966 di Istana Merdeka dilaksanakan sidang Kabinet Dwikora di bawah pimpinan Presiden Soekarno. Pada saat persidangan berjalan, di luar Istana terjadi demo mahasiswa dan pelajar yang menuntut diadakannya perubahan dalm pemerintahan dan para demonstran berusaha menggagalkan sidang kabinet. Hal ini memicu ketegangan antara para demonstran dan pasukan cakrabirawa yang saat itu sedang dalam keadaan siap tempur, terlebih diantara para demonstran diduga terdapat anggota TNI tanpa identitas.
Ketika sidang baru berjalan 10 menit tiba-tiba komandan pasukan cakrabirawa, Brigjen Sabur menuliskan nota dan memberikannnya kepada Kolonel KKO Bambang Widjanarko untuk diteruskan kepada Presiden Soekarno. Isi dari nota tersebut adalah “ada unidentified force yang bergerak dari arah glodok menuju istana” dan presiden disarankan untuk meninggalkan Istana secapat mungkin. Setelah membaca itu presiden segera menskors sidang dan kemudian memberikan mandat kepara Waperdam II dr. Leimena untuk memimpin sidang.
Presiden Soekarno segera keluar ruangan menuju ke helikopter yang sudah menunggu diluar untuk kemudian pergi menuju Istana Bogor dengan kawalan dari Brigjen Sabur dan Komisaris Polisi Mangil Martodidjodjo.
Setelah Presiden pergi ke Istana Bogor, para perwira tinggi TNI AD yaitu Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Amir Machmud menemui Men/ Pangad Letjen Soeharto untuk meminta izin bertemu dengan Presiden Soekarno dan disetujui. Sesampainya di Istana Bogor, mereka langsung ditemui oleh Presiden Soekarno dan kemudian menjelaskan maksud kedatangan mereka untuk menjelaskan bahwa tidak ada pasukan tanpa identitas yang berkeliaran di sekitar istana. Mereka juga menyampaikan pesan Letjen Soeharto yang menyatakan bisa mengendalikan keadaan keamanan di Jakarta apabila diberi kepercayaan dalam bentuk surat perintah yang kemudian dinamakan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Berdasarkan Supersemar, pada tanggal 12 Maret 1966 Letjen Soeharto atas nama Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/ Mandataris MPRS mengeluarkan Surat Keputusan Presiden/ Pangti/ Mandataris MPRS /PR No. 1/3/1966. yang berisi tentang pembubaran PKI dan Ormas- ormasnya serta menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh Indonesia. Da diserukan kepada Parpol dan ormas agar tidak menerima bekas anggota PKI. Beberapa hari kemudian Resimen Cakrabirawa di bubarkan dan sebagai penggantinya untuk tugas penjagaan istana diserahkan kepada Polisi Militer Angkatan Darat. Pada tanggal 27 Maret 1966 Presiden melantik kabinet Dwikora Yang Disempurnakan sebagai pengganti kabinet sebelumnya dan mengangkat Letjen Soeharto sebagai Ketua Presidium Kabinet serta mengangkat Kombes Pol. Dr Awaloedin Djamin diangkat sebagai Menteri Tenaga Kerja yang pertama sebagai ganti Menteri Perburuhan.
Integrasi ke dalam ABRI
Dalam rentang waktu antara 1950-1960 terjadi berbagai perdebatan mengenai kududukan kepolisian oleh beberapa lembaga negara. Pihak pamongpraja menginginkan status polisi di kembalikan ke Depdagri, Kejaksaan Agung sebagai pemegang penegakan hukum merasa akan lebih efektif apabila Kepolisian berada di bawah mereka. Lain lagi dengan usulan Mr. Djodi Gondokusumo (Menkeh pada masa Ali-Wongso tahun 1953) bermaksud memecah status kepolisian menjadi tiga yaitu Polisi represif yang berad di bawah Depkeh, Polisi Preventif di bawah Depdagri, dan Brigademobil ke Dephan.
Status kepolisian baru jelas ketika ditetapkan- nya ketetapan MPRS No. II/ MPRS/ 1960 yang menyatakan Kepolisian Negara menjadi Angkatan Bersenjata dan ketetapan tersebut dipertegas dengan penetapan DPR-GR tanggal 19 Juni 1961 tentang Undang-Undang Pokok Kepolisian No. 13/1961 yang tertuang dalam pasal 3 dalam undang-undang tersebut dijelas- kan bahwa kepolisian negara adalah Angkatan Bersenjata.
Namun karena dalam penjelasan undang- undang tersebut dikatakan bahwa status kepolisian terletak diantara sipil dan militer maka integrasi kepolisian ke dalam ABRI menjadi setengah-setengah. Baru pada tahun 1964 berdasarkan Keppres No. 290 tahun 1964 yang disempurnakan lagi pada tanggal 23 Juli 1965 angkatan Kepolisian diintegrasikan dengan unsur-unsur ABRI lainnya yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sehingga kedudukan hukum, personel, material, keuangan, organisasi, administrasi, dan perawatan angkatan kepolisian diatur secara umum dan terintegrasi.
Dalam keputusan-keputusan di atas disebutkan bahwa Presiden adalah pemimpin tertinggi angkatan bersenjata. Dengan demikian berarti presiden dapat langsung berinteraksi dengan pimpinan Angkatan diluar sepengetahuan Menteri Koordinator Keamanan Pertahanan yang hanya mengurusi tugas admistrasi itupun hanya tugas koordinasi. Kondisi menyebabkan terciptanya situasi diintegratif karena ada persaingan antara Angkatan yang satu dengan yang lainnya dan ini dimanfaatkan dengan baik oleh PKI untuk meyusup ke dalam tubuh Angkatan Bersenjata. Untuk memperbaiki keadaan tersebut, pada masa orde baru pimpinan ABRI menghilangkan perbedaan- perbedaan tersebut melalui pendekatan mental, doktrin, dan organisasi.
0 Comments